Keadaan masyarakat Indonesia pada saat ini dirasakan masih sangat memprihatinkan. Banyaknya masyarakat yang belum mendapatkan kesejahteraan yang layak untuk keberlangsungan hidupnya menjadi salah satu bahasan utama dalam makalah ini. Minimnya lapangan pekerjaan,pembangunan yang tidak merata dan kepadatan penduduk di masing-masing daerah menjadi salah satu contoh penyebab banyaknya pengangguran di Indonesia.
Rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM), masih belum bisa mengembangkan potensinya terhadap SDA yang ada, sehingga SDA yang kita punya belum dapat diolah sendiri. Hal itu disebabkan rendahnya mutu pendidikan yang ada di Indonesia.Oleh karena itu, kita akan membahas masalah kesejahteraan ini dengan mengaitkannya pada Pasal 27 UUD 1945, yang berbunyi:
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
1.1 Tujuan Rearch
1. Maksud dari pembuatan makaalah ini adalah :
• Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah PKn
• Untuk menambah wawasan
2. Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
• Untuk menambah pengetahuan tentang Seberapa jauh kesejahteraan di Indonesia
• Mengetahui apa pengertian kesejahteraan
• Agar orang tau tentang apa itu kesejahteraan
• Dimaksudkan untuk membantu individu atau kelompok;
• Tujuannya adalah mencapai standar hidup yang memuaskan;
• Mengembangkan kemampuan secara penuh;
•    Meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat




BAB 2
Analisa Landasan Teori
2.1 Pernyataan
Pernyataan yang ada dalam pencanangan Konstitusi Indonesia, yaitu:
1. Masih rendahnya tingkat kesejahteraan sebagian besar masyarakat.
2. Ketertinggalan Indonesia dibanding negara-negara lain, misalnya di ASEAN, yang memulai pembangunan dalam waktu yang hampir bersamaan.
3. Rendahnya daya saing industri dan ketergantungan ekonomi yang semakin tinggi
4. rendahnya kualitas produk indonesia
5. Kurangnya pembangunan tata kota di sebagian tempat terpencil

Pembangunan pelayanan kesehatan Indonesia untuk masyarakat miskin masih belum optimal. Hal ini dibuktikan dengan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia yang masih rendah, khususnya masyarakat kelas bawah.

Sistem pendidikan Indonesia belum mencapai tujuan pembangunan nasional yang sesungguhnya. Penyelenggaraan sistem pendidikan Indonesia pada jaman ini cenderung menomorduakan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh.

Salah satu bentuk pelayanan kesejahteraan rakyat di Indonesia yaitu dengan adanya Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Namun dalam pelakasanannya tidak selalu berjalan dengan baik karena sulitnya sistematika untuk mendapatkan hak-hak yang tersedia.
Dalam istilah umum, sejahtera menunjuk ke keadaan yang baik, kondisi manusia di mana orang-orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai


BAB 3
Pembahasan

2.1 Konstitusi Ekonomi
Rasanya semua sepakat bahwa Indonesia saat ini menghadapi banyak masalah mendasar di bidang sosial ekonomi.
Pertama, masih rendahnya tingkat kesejahteraan sebagian besar masyarakat. Bila digunakan pendekatan jumlah keluarga yang masih layak mendapatkan Raskin (beras untuk orang miskin) sebanyak 19,2 juta keluarga. maka dengan rata-rata anggota per keluarga 4 orang, paling tidak saat ini jumlah orang miskin dan mendekati miskin minimal 40 juta orang. Lebih banyak dibanding data BPS yang sebanyak 32,5 juta orang (2009) dengan batasan pengeluaran Rp 200.262 per orang per bulan, atau Rp 6.675 (USD 0,725) per orang per hari. Dengan kata lain, bila digunakan indikator internasional USD 2 per orang per hari, maka jumlah orang Indonesia yang belum sejahtera akan jauh lebih besar.

Kedua, masalah ketertinggalan Indonesia dibanding negara-negara lain, misal di ASEAN, yang memulai pembangunan dalam waktu yang hampir bersamaan. Dari indikator Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indonesia yang masih pada level 107 di tahun 2008. Jauh tertinggal dibanding Malaysia (63), Thailand (78) bahkan di bawah Filipina (105). Rendahnya IPM berarti pelayanan dasar (seperti pendidikan, kesehatan, air bersih) maupun daya beli masyarakat masih realtif rendah dibanding negara-negara ASEAN.
Demikian juga bila diukur dari PDB per kapita. Indonesia yang pada tahun 1960an sekitar USD 100, hampir sama dengan negara-negara tetangga, namun saat ini sudah jauh berbeda. Pada tahun 2008 Indonesia baru sekitar USD 2.246, Thailand USD 4.043 dan Malaysia USD 8.209 (World Bank). Belum lagi bila kita memasukkan data bahwa sebenarnya terjadi kesenjangan pendapatan, yang berarti sebagian besar kue ekonomi dinikmati secara tidak merata.
Ketiga, masalah rendahnya daya saing industri dan ketergantungan ekonomi yang semakin tinggi. Untuk pangan, Indonesia tidak hanya mengalami ketergantungan tetapi mungkin dapat dikatakan telah masuk pada food trap (perangkap pangan). Tujuh komoditas pangan utama nonberas sangat bergantung pada impor. Empat dari tujuh komoditas pangan utama nonberas, yakni, gandum, kedelai, daging ayam ras, dan telur ayam ras, sudah masuk kategori kritis. Meningkatnya ketergantungan pangan dapat dilihat dari naiknya volume impor pangan dalam bentuk komoditas, benih maupun bibit. Data BPS dan Kadin menunjukkan impor kedelai pernah mencapai 61% dari kebutuhan dalam negeri, gula 31%, susu 70% dan daging 50%.
Undang-undang Dasar 1945 memiliki Pasal 33 yang akan mengatur ekonomi. Namun, menurut hemat saya pembahasan pasal 33 tentang pengeloaan ekonomi seharusnya tidak dilepaskan dari pembahasan tentang tanggung jawab sosial pemerintah terhadap warga negara seperti menyediakan pendidikan, kesehatan, pangan, pekerjaan dan menjamin orang miskin. Dengan demikian, dalam UUD 1945 ada 6 pasal yaitu Pasal 23, 27, 28, 31, 33 dan 34, dimana keenam pasal tersebut harus dipahami secara menyatu dan tidak dipisah-pisahkan.

Pasal 23 ayat 1, menegaskan bahwa pengelolaan anggaran dan keuangan pemerintah harus diprioritaskan untuk kesejahteraan rakyat. Pasal 27 mengatur hak penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi seluruh rakyat. Di pasal 28 c, menegaskan bahwa rakyat memiliki hak untuk dipenuhi hak-hak dasarnya. Pasal 31 mengatur hak rakyat atas pendidikan dan kewajiban negara untuk memberikan pendidikan setinggi-tingginya. Dalam pasal 33, ayat 1 tentang pengaturan ekonomi yang berbasis kebersamaan, ayat 2 menegaskan bahwa rakyat memiliki hak untuk ikut berproduksi dan ikut menikmati hasilnya agar mengalami peningkatan kesejahteraan. Sedangkan pasal 33 ayat 3 dengan jelas diuraikan bahwa negara harus menguasai berbagai sumber daya alam yang ada dan rakyat memiliki hak penuh atas kekayaan tersebut. Pada pasal 34, konstitusi menegaskan hak fakir miskin dan anak terlantar untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar oleh negara. Bila keenam pasal tersebut dimaknai secara bersama, maka keberadaan pasal 33 yang mengatur negara harus menguasai sumber daya alam dan tidak diberikan penguasaannya kepada swasta dan asing karena tugas negara sesuai amanah konstitusi sangat banyak.
Namun, karena sumber daya alam tidak dimaknai sebagai kekayaan atau modal pemerintah, maka telah terjadi pergeseran paradigma yang menempatkan batu bara, minyak mentah, gas dan tambang lainnya hanya sekadar komoditas yang dapat dikuasai dan diperdagangkan secara bebas oleh swasta dan asing. Sebagai komoditas non strategis (sebagaimana baju, sepatu dll), barang-barang tambang akan dengan mudah dieksploitasi dan diekspor bila penjualan ke luar negeri dinilai memberi keuntungan.
Seolah manfaat bagi rakyat cukup lewat peningkatan cadangan devisa, penciptaan lapangan meskipun bukan pekerja ahli atau dari pembayaran pajak dan royalti. Padahal faktanya, dengan pengelolaan yang terjadi saat ini, bagian pemerintah jauh lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh swasta.
Dengan kembali pada ekonomi konstitusi, berbagai kekayaan alam tambang akan dikembalikan sebagai modal pembangunan Indonesia dalam mewujudkan kemajuan dan kemandirian. Oleh karenanya kekayaan alam tersebut harus dikembalikan penguasaannya pada negara untuk dimanfaatkan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Pertanyaanya, bersungguh-sungguhkah kita akan mengembalikan pengelolaan kekayaan alam sesuai dengan amanah pasal 33 ayat 3? Karena salah satu konsekwensinya kita harus berjuang untuk merevisi berbagai undang-undang pengelolaan SDA yang bertentangan dengan konstitusi. Undang-undang Migas No. 22 Tahun 2001 misalnya, paling tidak ada empat pasal yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan konstitusi. Namun, keputusan MK tersebut hingga hari ini belum ditindak lanjuti karena akan mengganggu kepentingan sekelompok elit asing dan dalam negeri yang selama ini mendapatkan manfaat besar dari liberalisasi SDA. Kita juga harus bersedia mengevaluasi undang-undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara (minerba) karena tidak mengatur pentingnya DMO (domestic market obligation) bagi kepentingan nasional. Juga harus bersungguh-sungguh melakukan koreksi terhadap Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang membebaskan kepemilikan asing di sektor tambang hingga 95% serta melakukan koreksi terhadap berbagai undang-undang yang telah disusun dengan paradigma liberal, seperti UU Kelistrikan, UU Air, dll. Mengembalikan ekonomi pada konstitusi juga berarti bersedia mengoreksi berbagai kontrak-kontrak tambang sehingga memberikan manfaat lebih besar bagi rakyat. Dengan terobosan-terobosan ini, akan ada potensi penerimaan negara baru yang lebih besar sehingga tidak lagi hanya bersumber pada pajak, privatisasi dan utang sebagaimana pakem Washington Consensus.

Pengelolaan kekayaan alam non tambang yang liberal dan tidak menempatkan kepentingan nasional sebagai prioritas juga harus dikoreksi. Pilihan kebijakan ini telah menjadikan Indonesia sebagai pemasok berbagai sumber daya alam mentah sebagai bahan baku industri dunia. Padahal pilihan ini akan merugikan kepentingan nasional. Pada saat memilih untuk mengekspor bahan baku dan bahan mentah maka pada saat itu pula Indonesia sedang mengekspor kesempatan kerja, memberikan nilai tambah dan menyerahkan peluang untuk meningkatkan pendapatan masyarakat kepada negara lain. Indonesia adalah penghasil rotan terbesar dunia namun saat ini pemerintah membebaskan ekspor rotan mentah.
Memang kebijakan ini akan mendorong ekspor sehingga menguntungkan petani rotan. Secara nasional negara juga akan diuntungkan dengan sumbangan pertumbuhan ekspor yang tinggi sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sepintas kebijakan ini seolah baik. Padahal, akibat dari liberalisasi rotan mentah telah mengakibatkan produsen barang dari rotan yang umumnya di wilayah Jawa, mengalami ketidakpastian harga dan pasokan bahan baku. Tentu petani rotan akan memilih untuk mengekspor karena permintaan dan pembayaran lebih pasti. Namun, sebagai konsekwensinya banyak industri mebel rotan kecil dan menengah nasional kesulitan bahan baku. Bahkan saat ini meubel rotan Indonesia telah kalah bersaing dengan produk dari negara-negara pengimpor rotan dari Indonesia.
Bila meyakini menciptakan lapangan kerja dan memberikan penghidupan yang layak pada pasal 27 dan 28 adalah amanah yang harus dijalankan, maka kebijakan yang dipilih dalam pengelolaan rotan akan berbeda. Melimpahnya produksi rotan di Kalimantan justru menjadi kesempatan untuk memantapkan posisi Indonesia sebagai produsen mebel rotan utama dunia yang pernah dicapai sebelum krisis. Pengembangan sentra-sentra industri produk rotan di daerah penghasil rotan dengan berbagai dukungan teknologi dari pemerintah akan menciptakan lapangan kerja yang besar, kesejahteraan petani dan perajin rotan akan meningkat karena nilai tambah dari pengolahan rotan akan terjadi dan dinikmati oleh rakyat di Indonesia. Kebijakan yang sama semestinya juga dapat dilakukan untuk kekayaan timah, coklat, dan lain-lain yang melimpah.

2.2 Pelayanan Kesehatan Indonesia untuk Masyarakat Miskin
Pembangunan kesehatan adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional, dalam pembangunan kesehatan tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Kenyataan yang terjadi sampai saat ini derajat kesehatan masyarakat masih rendah khususnya masyarakat miskin, hal ini dapat digambarkan bahwa angka kematian ibu dan angka kematian bayi bagi masyarakat miskin tiga kali lebih tinggi dari masyarakat tidak miskin. Salah satu penyebabnya adalah karena mahalnya biaya kesehatan sehingga akses ke pelayanan kesehatan pada umumnya masih rendah. Derajat kesehatan masyarakat miskin berdasarkan indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, masih cukup tinggi.
Banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan didalam pelayanan kesehatan terutama yang terkait dengan biaya pelayanan kesehatan, ketimpangan tersebut diantaranya diakibatkan perubahan pola penyakit, perkembangan teknologi kesehatan dan kedokteran, pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran swadana (out of pocket).
Biaya kesehatan yang mahal dengan pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran out of pocket semakin mempersulit masyarakat untuk melakukan akses ke pelayanan kesehatan,Untuk memenuhi dan mewujudkan hak bagi setiap warga negara dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan kewajiban pemerintah penyediaan fasilitas kesehatan sebagai amanat UUD 1945 serta kesehatan adalah merupakan kesehatan merupakan Public Good maka dibutuhkan intervensi dari Pemerintah.

2.3 Pendidikan di Indonesia
Pendidikan adalah suatu usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik agar berperan aktif dan positif dalam hidupnya sekarang dan yang akan datang, dan pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang berakar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional Indonesia.
Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya dan program yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, Pendidikan keturunan dan pendidikan lainnya. Serta upaya pembaharuannya meliputi landasan yuridis, Kurikulum dan perangkat penunjangnya, struktur pendidikan dan tenaga kependidikan.
Berangkat dari definisi di atas maka dapat dipahami bahwa secara formal sistem pendidikan indonesia diarahkan pada tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. Namun demikian, sesungguhnya sistem pendidikan indonesia saat ini tengah berjalan di atas rel kehidupan ‘sekulerisme’ yaitu suatu pandangan hidup yang memisahkan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh, termasuk dalam penyelenggaran sistem pendidikan. Permasalahan ini berlawanan dengan isi pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang memaknai penghidupan yang layak bagi seluruh masyarakat Indonesia, salah satunya untuk keberlangsungan pendidikan dan pekerjaan warga negara.Meskipun, pemerintah dalam hal ini berupaya mengaburkan realitas (sekulerisme pendidikan) yang ada sebagaimana terungkap dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional berjalan dengan penuh dinamika. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu political will dan dinamika sosial
Political will sebagai suatu produk dari eksekutif dan legislatif merupakan berbagai regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan diantaranya tertuang dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 UUD 1945, maupun dalam regulasi derivatnya seperti UU No.2/1989 tentang Sisdiknas yang diamandemen menjadi UU No.20/2003, UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, serta berbagai rancangan UU dan PP yang kini tengah di persiapkan oleh pemerintah (RUU BHP, RPP Guru, RPP Dosen, RPP Wajib belajar, RPP Pendidikan Dasar dan Menengah, dsb
Terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia, Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001) mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Ia mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, termasuk persoalan stabilitas dan keamanan, sebab pelaksanaan pendidikan membutuhkan rasa aman. Menanggapi hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei oleh lembaga yang berkantor pusat di Hongkong itu, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (Kompas,5/9/2001).
Kondisi ini menunjukan adanya hubungan yang berarti antara penyelenggaraan pendidikan dengan kualitas pembangunan sumber daya manusia indonesia yang dihasilkan selama ini, meskipun masih ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhinya.

2.4 Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ketentuan ini dijabarkan dalam Pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003, tentang tujuan pembangunan ketenagakerjaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 99 UU No. 13 Tahun 2003, yaitu setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja. Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud, dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saat ini aturan yang dimaksud adalah UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK).
Namun dalam kenyataannya, jaminan sosial tersebut tidak selalu berjalan dengan baik dalam melayani kebutuhan para pekerja.
Setiap pekerja yang membutuhkan jaminan tersebut, misalnya dalam keadaan sakit atau mengalami kerugian karena faktor intern ( faktor yang diakibatkan dari perusahaan yang bersangkutan ) tidak bisa langsung mendapatkan hak nya di Jamsostek dan harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Setelah syarat-syarat tersebut dipenuhi, hak tersebut tidak dapat langsung diambil dan harus melalui persetujuan dari pihak yang bersangkutan.

2.5 Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Indonesia
Tahun demi tahun, pemerintahan telah silih berganti, namun pertanyaan yang patut terlontarkan, sudah sejahterakah rakyat di negeri ini? Pertanyaan tersebut patut dikemukakan sebab hampir di setiap rezim pemerintahan, jargon kesejahteraan selalu diusungnya. Bahkan hal tersebut selalu digunakan untuk membius pikiran dan keinginan rakyat agar selaras dengan kemauan pemerintah.
Bagi pemerintah ketika pertanyaan tersebut terlontar mungkin akan menjawab sudah, namun bagi sebagian masyarakat akan menjawab belum. Lalu apa sebenarnya parameter atau indikator kesejahteraan. Banyak teori untuk menilai kesejahteraan rakyat, salah satunya adalah Indeks pembangunan masyarakat (IPM), atau indeks kesejahteraan masyarakat (human development indeks). Berkaitan dengan IPM ini UNDP di bawah bendera PBB mencantumkan tiga indikator yaitu pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat. Artinya tinggi rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat, tergantung pada tiga hal ini, bila sebagian besar sudah terpenuhi ketiganya berarti tingkat kesejahteraan di negara tersebut cukup tinggi.
Pada awalnya untuk menilai tingkat kesejahteraan masyarakat menggunkana indikator GNP (grost nasional product) dan indikator lain yang selaras seperti tingkat inflasi, pengangguran, investasi, tingkat pembelanjaan pemerintah, tingkat konsumsi dan posisi neraca perdagangan. Teori ini dipresentasikan oleh John Mayard Keynes dan diterima PBB sebagai alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat sebuah negara. Namun beberapa tahun belakang indikator tersebut mulai ditinggalkan. UNDP mulai menggunakan indikator lain dalam menilai tingkat kesejahteraan rakyat sebuah negara, seorang pakar ekonomi Pakistan, Mahbub ul haq mulai mengembangkan konsep baru. Beliau mengoreksi cara mengukur tingkat kesejahteraan dengan GNP. Tingginya angka GNP tingginya tingkat kesejahteraan rakyat tidak dapat diterima begitu saja. Sebab angka GNP adalah angka rata-rata. Sementara rata-rata bermakna bahwa masyarakat dapat mengakses kehidupan dengan rata dan mempunyai pendapatan yang rata juga, padahal tidak demikian.
Gambaran mudahnya, dengan masuknya beberapa konglomerat kaya ke suatu negara secara otomatis mendongkrak angka GNP padahal dibalik itu banyak rakyat yang dalam keadaan kekurangan. Sehingga Amartya sen, ekonom kelahiran India, penerima Nobel ekonomi pernah mengatakan kemiskinan tidak selalu identik dengan kekurangan pangan namun dapat saja karena kurang adanya pemerataan, disinilah beliau menekankan pentingnya distribusi.
Berpijak dari sanalah dikembangkan indikator kesejahteraan lain, yaitu indeks pembanguna masyarakat. Sementara itu hal selaras yang saat ini masih menjadi perbincangan hangat yaitu adanya keinginan sebagian masyarakat yang ingin memasukkan variabel moral, dan tingkat partisipasi masyarakat dalam politik ke dalam indikator IPM. Pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat hanya mengukur kesejahteraan fisik saja sementara non fisiknya belum terukur maka perlu memasukkan variabel tersebut, bahkan akhir akhir ini, indeks demokrasi, perlakuan jender masuk dalam pengukuran IPM. Bila dilihat dengan tiga indikator yang sudah fixed tersebut, bagaimanakah kondisi kesejahteraan masyarakat Indonesia saat ini?

2.6 Tingkat Pendidikan di Indonesia
Cara melihat tingkat pendidikan suatu negara minimal dengan dua indikator yaitu angka melek huruf dan lama melanjutkan pendidikan. Saat ini terlihat di tiga wilayah saja angka buta huruf masih tinggi, Jawa Tengah 15,2%, Jawa Timur 18,7% dan Jawa Barat 7,8% dari fakta ini terlihat masih banyak masyarakat yang belum memperoleh akses pendidikan. Hal ini juga mencerminkan kualitas masyarakat Indonesia masih rendah sehingga tidak aneh bila dibandingkan dengan negara lain pendidikan Indonesia di posisi belakang.

Dari 79 perguruan tinggi yang tercatat di Asia, UGM yang merupakan ikon perguruan tinggi ternama di Indonesia menduduki peringkat ke-67, UI 70, UNDIP 77 dan UNAIR paling bawah 79. Peringkat ini dilihat dari reputasi akademik, SDM/dosen, hasil karya riset, sumber dana, gaji dosen, rasio mahasiswa tiap dosen, publikasi jurnal internasional dan kepadatan bandwith komputernya. Sementara itu yang bercokol diperingkat atas adalah Universitas Tohuku (Tahuku University) Jepang. Universitas lain yang masih berada di peringkat atas, ranking 10 Melbourn University, ranking 23 Waseda University Jepang, ranking 27 universitas Malaya Malaysia, ranking 32 philipines University, ranking 39 Mahidong University Thailand dan ranking 45 University of Delhi India.
Lain universitas lain pula institut sain dan teknologi, di antara 35 institut yang di survey ikon institut ternama di Indonesia, yaitu ITB berada diurutan 15, masih mendingan karena mampu melampui 20 institut ternama lain yang tersebar di beberapa negara di Asia. Namun yang mengejutkan urutan 4, 5, 6, dan 7 di borong India, sementara itu ranking satu berada di bawah Bendera Korea Advanced science and teknology Institut. (Jawapos, 14 Desember 2004)

2.7 Tingkat Kesehatan di Indonesia
Tingkat kesehatan rakyat sebuah negara dapat dilihat dari angka umur harapan hidup (UHH). Tahun 2000 UHH rakyat Indonesia 65,6 tahun semnatar itu tahun berikutnya 2001 naik menjadi 65,8, ini mencerminkan tingkat kesehatan masyarakat mengalami perbaikan. Namun secara internasional UHH rakyat Indonesia masih rendah. Pada tahun yang sama UHH rakyat Thailand 69,9 tahun, Malaysia 72,2 tahun, Singapura 77,4 tahun dan Jepang 80,8 tahun. Mengapa UHH indonesia rendah yang berarti tingkat kesehatannya belum baik, hal ini disebabkan beberapa hal, antara lain rendahnya akses pelayanan kesehatan, rendahnya akses air bersih, rendahnya gizi balita, mewabahnya penyakit menular dan lambannya penanganan kematian ibu melahirkan.

2.8 Golongan Kesejahteraan Masyarakat

Secara rinci keberadaan Keluarga Sejahtera digolongkan ke dalam lima tingkatan sebagai berikut:
(1) Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS), yaitu keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs) secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan, sandang papan dan kesehatan.
(2) Keluarga Sejahtera I (KS I), yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya (socio psychological needs), seperti kebutuhan pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal, dan transportasi.
(3) Keluarga Sejahtera II (KS II), yaitu keluarga-keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kebutuhan sosial-psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya (developmental needs) seperti kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi.
(4) Keluarga Sejahtera III (KS III), yaitu kelurga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis dan pengembangan keluarganya, tetapi belum dapat memberikan sumbangan yang teratur bagi masyarakat, seperti sumbangan materi, dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.

(5) Keluarga Sejahtera III Plus (KS III Plus), yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar, sosial psikologis dan pengembangan serta telah dapat memberikan sumbangan yang teratur dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.


Bab 4
Penutup
4.1 Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai kesejahteraan rakyat diatas maka dapat disimpulkan bahwakesejahteraan rakyat di Indonesia belum terlaksana dengan baik.Kesejahteraan rakyat yang mencakup bidang ekonomi, pelayanan kesehatan untuk masyarakat (terutama masyarakat miskin), pelayanan sosial yang ada di dalam atau luar lingkup kerja, dan pendidikan.
Berdasarkan data yang diperoleh, hal tersebut belum relevan dengan pasal 27 ayat 1 dan ayat 2 tentang kedudukan yang sama dalam hukum ( penghidupan yang layak ).
Kesejahteraan di indonesia tentang pembangunan juga belum memadai, daerah yang terpencil sekali pun belum tersentuh dengan adanya barang/benda yang modern, karena tidak adanya sosialisasi dari pemerintah setempat, untuk membangun wilayahnya agar lebih baik lagi.

4.2 Saran
Seharusnya pemerintah memikirkan cara lain untuk membantu menyejahterakan rakyatnya karena menurut penulis cara pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat masih belum tepat. Pemerintah masih bisa mencari cara lain selain memberikan bantuan langsung kepada masyarakat, karena cara seperti itu belum efektif. Rakyat bukan hanya butuh uang, tetapi juga butuh lapangan pekerjaan. Mungkin saja pemerintah bisa mencari atau mengupayakan cara lain untuk menyejahterakan rakyatnya demi kelangsungan bangsa di masa depan.
Pemerintah juga harus membuat lapangan pekerjaan baru, meringankan beban masyarakat yang kurang mampu, memang benar pada era sekarang pemerintah mempunyai banyak program untuk mengurangi biaya apapun untuk orang yang tidak mampu, tetapi pada prosesnya untuk hal tersebut akan di persulit oleh pihak-pihak tertentu, sampai pada akhirnya orang yang kurang mampu yang ingin mengurus surat – surat atau berkas-berkas akan mersa jenuh bila terus di permainkan.
Penulis hanya bisa menyarankan semoga para pembaca lebih bisa memahami kenapa kita harus meningkatkan kesejateraan masyarakat di negara kita tercinta yaitu iIndonesia.

I BUILT MY SITE FOR FREE USING